Monday, May 25, 2009

KHITBAH-PINANGAN


Al-Khitbah dengan dikasrah 'kho"nya berarti pendahuluan "ikatan pernikahan"
yang maknanya permintaan seorang laki-laki pada wanita untuk dinikahi. Dan
hal ini pada umumnya ada pada laki-laki. Maka yang memulai disebut
"khoothoban” (yang meminang) sedang yang lain disebut "makhthuuban” (yang
dipinang).

Meminang itu sunnah sebelum akad nikah, karena Nabi Muhammad shalallahu
‘alaihi wa sallam meminang untuk dirinya dan untuk yang lain. Dan tujuan
meminang yaitu : mengetahui pendapat yang dipinang, apakah ada setuju atau
tidak. Demikian juga untuk mengetahui pendapat walinya.

Meminang itu akan mengungkap keadaan, sikap wanita itu dan keluarganya.
Dimana kecocokan dua unsur ini dituntut sebelum akad nikah, dan Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menikahi seorang wanita kecuali
dengan izin wanita tersebut, sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhori dan
Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata: telah bersabda Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam :

"Tidak dinikahi seorang janda kecuali sampai dia minta dan tidak dinikahi seorang gadis
sampai dia mengijinkan (sesuai kemauannya),
Mereka bertanya "Ya Rasulullah, bagaimana ijinnya ? Beliau menjawab 'Jika dia
diam'.

Maka bila janda dikuatkan dengan musyawarahnya dan wali butuh pada
kesepakatan yang terang-terangan untuk menikah. Adapun gadis, wali harus
minta ijinnya, artinya dia dimintai ijin/pertimbangan untuk menikah dan tidak
dibebani dengan jawaban yang terang-terangan untuk menunjukkan
keridhaannya, tetapi cukup dengan diamnya, sungguh dia malu untuk
menjawab dengan terang-terangan. Dan makna ini juga terdapat dalam hadits
'Aisyah radhiallahu 'anha bahwa beliau berkata "Ya Rasulullah, sesungguhnya gadis
itu akan malu", maka beliau bersabda: Ridhanya ialah diamnya' (HR Bukhori dan
Muslim)

Akan tetapi hendaknya diyakinkan bahwa diamnya adalah diam ridha, bukan
diam menolak, dan itu harus diketahui oleh walinya dengan melihat kenyataan
dan tanda-tandanya. Dan perkara ini tidak samar lagi bagi wali pada umumnya.
Adapun kesepakatan wali dari pihak wanita itu merupakan perkara yang harus
dan merupakan syarat dalam nikah menurut jumhur ulama karena jelasnya
hadits dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda :

“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.”
(HR Ahmad dan Ashhabus Sunan)

Dan jumhur mengambil dalil atas syarat ridhanya wali dengan firman Allah
Subhanahu Wa Ta’ala:

"Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya” (QS Al-Baqarah : 232)

Artinya : Jangan kau cegah wanita yang tercerai untuk kembali ke pangkuan
suaminya, karena dia lebih berhak untuk ruju' jika memungkinkan secara syariat.
Telah berkata Imam Syafii "Ini ayat yang paling jelas tentang permasalahan wali
dan kalau tidak maka pelarangan wali tidak bermakna".

(Lihat Subulussalaam Syarah Bulughul Maram, Ash-Shan'any, juz 3 hal 130).
Pada dasarnya di dalam hukum syariat melihat wanita asing bagi lelaki dan
sebaliknya adalah haram. Yang diwajibkan adalah menundukan pandangan dari
yang haram bagi laki-laki maupun wanita, firman Allah Ta'ala (yang artinya) :

”Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman : Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat; Katakanlah
kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) nampak dari padanya.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah
menampakan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah
suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara laki-laki mereka, atau putera saudara laki¬-laki mereka, atau putera saudara-
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka
miliki ; atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita, Dan janganlah
mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu
beruntung"

(Q.S An¬Nuur : 30-31)

Adapun orang yang meminang, memandang gadis yang dipinangnya atau
sebaliknya maka itu boleh, bahkan itu dianjurkan. Akan tetapi dengan syarat
berniat untuk mengkhitbah. Hadits-hadits tentang ini banyak sekali.
Adapun dalam hadits Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah berkata pada seseorang yang akan
menikahi wanita :
'Apakah engkau telah melihatnya ? dia berkata : "Belum". Beliau bersabda :'Maka
pergilah, lalu lihatlah padanya. "

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Hakim dari Jabir bin Abdullah
Radhiyallahu ‘anhu : Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Jika salah seorang diantara kalian meminang seorang perempuan dan jika mampu
melihat seorang perempuan dari apa-apa yang mendorong kamu untuk menikahinya
maka kerjakan.”

Orang yang meminang menurut jumhur ulama. Karena wajah cukup untuk
bukti kecantikannya dan dua tangan cukup untuk bukti keindahan/kehalusan
kulit badannya. Adapun yang lebih jauh dari itu kalau dimungkinkan, maka
hendaknya orang yang meminang boleh memandang pinangannya pada telapak
tangan dan wajah saja mengutus ibunya atau saudara perempuannya untuk
menyingkapnya, seperti bau mulutnya, bau ketiaknya dan badannya, serta
keindahan rambutnya.

Dan yang lebih baik orang yang meminang melihat pada yang dipinang sebelum
dia meminang, sehingga jika dia tidak suka padanya, maka dia bisa berpaling
dari perempuan itu tanpa menyakitinya. Dan tidak disyaratkan adanya
keridhaan atau sepengetahuan si wanita itu, bahkan si lelaki itu boleh melihat
tanpa diketahui wanita pinangannya atau ketika dia lalai (diintip) dan itu lebih
utama..

1 comment: